Banyak pertanyaan dari orangtua mengenai pada usia berapakah perpisahan dan perceraian orangtua memiliki dampak buruk yang minim bagi anak? Benarkah justru di usia balita paling baik, karena anak belum banyak terpapar pada kehidupan orangtuanya?
Jawabannya secara umum adalah tidak ada usia terbaik. Namun demikian, sesungguhnya dampak perceraian pada anak-anak bervariasi sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan psikologis mereka. Orangtua perlu memahami dampak dan kebutuhan yang berbeda dari anak-anak mereka.
Berikut adalah uraian untuk memahami perbedaan yang lebih mendasar menurut dua tahapan umur anak balita berdasarkan tulisan Anthony E Wolf (1998) dalam bukunya Why Did You Have to Get a Divorce? And When Can I Get a Hamster?, serta saran-saran bagi orangtua yang bercerai.
Usia anak 0-2 Tahun
Pada tahap paling awal kehidupan, persepsi seorang anak tentang perceraian secara jelas tampak terbatas. Tentu saja bayi tidak memiliki kesadaran yang nyata tentang perceraian. Dampak perceraian pada kehidupan mereka selanjutnya terutama adalah tidak dibesarkan dalam rumah yang sama dengan kedua orangtua kandung mereka.
Isu psikologis utama dari perkembangan anak usia ini adalah pembentukan kelekatan khusus yang kuat pada pemelihara utama atau orang-orang dalam kehidupan seorang anak. Anak-anak membutuhkan kontak secara terus-menerus dengan setidaknya satu pengasuh untuk membentuk kelekatan awal dari cinta yang mendasar.
Kelekatan ini menjadi landasan untuk pencapaian kesejahteraan diri (well-being)—rasa bahwa saya dicintai dan istimewa—serta kapasitas sang anak akan cinta di masa depan. Untungnya, dalam kebanyakan perceraian di mana anak-anak kecil terlibat, kehadiran setidaknya satu orangtua yang mencintai—hal paling penting dari semua persyaratan—tidak terganggu secara signifikan.
Namun, prospek memiliki dua orangtua yang saling terlibat untuk anak-anak usia ini menjadi kurang mungkin. Setelah perpisahan, biasanya salah satu orangtua tidak lagi berada di rumah secara teratur ataupun memiliki kontak harian dengan anak. Akibatnya, pihak orangtua yang pergi atau kemudian telah menikah lagi tak akan lagi memiliki ikatan yang berlangsung dua arah, dari anak ke orangtua dan orangtua kepada anak.
Risiko terhadap kehilangan kontak harian dengan orangtua kedua pada usia dini adalah bahwa orangtua ini secara cepat dan mungkin menetap akan memudar keberadaannya dalam kehidupan sang anak. Jika orangtua kedua tersebut tetap terlibat dengan anak yang masih sangat kecil, kadang kala orangtua utama mengkhawatirkan tentang perawatan/pengasuhan yang diberikan.
Bagaimanapun, perlu dicamkan bahwa orangtua kedua akan belajar. Kekhawatiran yang sama akan muncul ketika orang tua, bercerai atau tidak, memercayakan perawatan anak mereka kepada orang lain yang bukan anggota keluarga dekat. Padahal, sang mantan adalah anggota dari keluarga dekat, bahkan orangtua penuh dari sang anak, sehingga apakah mantan Anda terampil membuat bayi bersendawa atau mengganti popoknya, sebenarnya bukanlah masalah untuk sang anak.
Isunya adalah apakah dia adalah orangtua yang penuh kasih pada anak. Alangkah baiknya bila Anda menjaga kontak dengan mantan, mendorongnya, dan membantu untuk membuatnya lebih nyaman demi kepentingan terbaik sang anak.
Usia anak 2-5 Tahun
Dengan perceraian, anak usia prasekolah sangat menyadari bahwa perubahan besar telah terjadi. Salah satu orangtua tidak akan lagi tinggal di rumah atau hadir di tempat atau pada waktu yang diharapkan. Anak usia ini memerhatikan kehilangan itu. Misalnya dengan pertanyaan: ”Kenapa ayah pergi, saya kangen, pengin ayah balik.” Ketika satu orangtua pergi, teror yang lebih besar mengintai di balik pikiran mereka. Misalnya: ”Jika ayah sudah pergi, mungkin ibu juga akan pergi.”
Isu perceraian utama adalah perubahan dan kehilangan. Anak tidak suka kedua hal ini karena menakutkan. Kepercayaan diri mereka, rasa percaya bahwa apa yang mereka inginkan selalu akan ada, telah terganggu. Sebuah hantaman telah membuka dasar rasa aman mereka. Reaksi utama terhadap hilangnya kepercayaan diri mereka adalah dengan menarik diri.
Mereka lebih enggan untuk mengambil risiko. Mereka berpegang pada rasa aman yang masih ada, mencoba untuk memastikan bahwa tak akan terjadi lagi kehilangan untuk yang tersisa. Mereka memerlukan waktu untuk membangun lagi kepercayaan diri yang telah rusak. Sementara itu, mereka juga membutuhkan kepastian bahwa Anda masih ada dan tidak akan meninggalkan mereka. Anak mungkin tampak terlalu kecil untuk memahami semua perubahan yang terjadi, tetapi Anda tetap harus memberikan penjelasan sederhana yang cukup jujur untuk dimengerti mereka.
Jika orangtua memberitahu apa yang sedang terjadi, akan membuat perubahan dalam hidup anak prasekolah sedikit lebih mudah. Meskipun demikian, bersiaplah jika, bahkan setelah pemberian dukungan dan penjelasan, anak masih tetap bingung dan terus bertanya mengapa sang ayah tidak tinggal serumah lagi. Hal yang sesungguhnya mereka inginkan adalah agar segala sesuatu kembali ke kondisi semula.
Kata penutup
Jika perceraian pasangan tak lagi dapat dihindari , cobalah agar hal ini tidak sampai merugikan anak. Suami-istri memang telah berpisah, tapi apakah sebagai orangtua juga harus ikut bercerai? Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan tetap ingin agar keduanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, perkembangan rasa percaya diri dan kesejahteraan diri mereka juga bergantung pada ekspresi kasih sayang kedua orangtuanya.
Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan "memaksa" seorang ibu membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah, apa saja kah itu ?
Menurut Lifina Dewi, M.PSi, psikolog dari Universitas Indonesia, "Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau cuek mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat tapi untuk anak yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orangtuanya bercerai," ujarnya.
Mama….kenapa kita sekarang tinggal bersama Kakek dan Nenek? Papa tinggal di mana, Ma? Kasihan ya Papa tinggal sendirian, nggak sama kita lagi. Papa pasti kesepian deh, Ma. Yuk kita tinggal bareng Papa lagi, Adek kangen... deh sama Papa.
Membaca percakapan di atas, tentulah kita sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dalam keluarga tersebut. Apalagi kalau bukan perceraian. Angka perceraian di Indonesia mungkin tidak setinggi di Amerika Serikat (66,6% perkawinan berakhir dengan perceraian) ataupun di Inggris (50%), tapi kita tahu bahwa di Indonesia pun banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebritis Indonesia akhir-akhir ini.
Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.
Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua (Mama dan Papa) untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan kata lain bagaimana orangtua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian.
Sebagai orang dewasa, mudah bagi kita memahami bahwa pernikahan tak selamanya berlangsung sesuai harapan dan rencana. Setiap orang berubah, perubahan berdampak pada penyesuaian kebutuhan; termasuk kebutuhan untuk diperhatikan dan dicintai. Kondisi ini berisiko mengubah perasaan pada pasangan, rasa cinta berkurang, atau jatuh cinta pada orang lain, hingga akhirnya berujung pada keputusan untuk berpisah.
Entah apapun penyebabnya, perpisahan selalu menciptakan kesedihan bagi pihak yang merasa ditinggalkan, atau dikhianati. Akan lebih mudah kondisinya jika perpisahan hanya melibatkan pasangan. Tetapi jika sudah ada anak di antara pasangan, ceritanya tentulah menjadi lebih kompleks dan spektrumnya cenderung lebih kaya.
Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak. "Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, enggak sabaran, impulsif, dll. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. "Anak merasakan, 'Ah, jangan-jangan saya yang membuat Papa-Mama bercerai,' sehingga muncul rasa marah campur rasa bersalah." Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi perebutan anak antara suami-istri. "Anak jadi bingung, pingin ikut ayah, tapi kok akhirnya ikut sang ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan itu." Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. "Orangtua harus harus hati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura." Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan jenis. "Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk commit pada suatu hubungan. Pacaran-putus, pacaran-putus." Self esteem anak juga bisa turun. "Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri."
Psikolog, Dra. Sugiarti Musabiq, M.Kes, mengungkap pentingnya ayah dan ibu yang telah berpisah untuk mengnyampingkan kepentingan diri sendiri. "Perceraian, bagaimanapun prosesnya, memang tetap mengandung konflik dan mempengaruhi emosi pasangan maupun anak. Senantiasa ada masa transisi yang relatif berat. Masa transisi yang dimaksud adalah perubahan keadaan yang semula tenang menjadi bergejolak karena ketidaksepahaman maupun konflik antara pasangan, yang mau tidak mau berefek pada sikap, tingkah laku dan perkataan, baik yang disadari maupun tidak".
Agar dampak proses perceraian dapat diminimalisasi pada anak, pastikanlah Anda dan pasangan melakukan langkah-langkah berikut ini :
Sampaikan baik-baik. Anak mengingat saat-saat orang tua menyampaikan berita perceraian dalam waktu yang sangat panjang. Karena berita ini membuatnya panik, menguncang rasa aman dirinya. Idealnya berita ini disampaikan bersama-sama pada anak oleh Anda dan pasangan. Sampaikan bahwa keputusan itu diambil untuk kebaikan bersama. Jelaskan juga bahwa pernikahan ini diawali oleh cinta, dan sebenarnya Anda mengharapkan untuk selalu bersama. Tetapi setelah dijalani hal tersebut tidak terlaksana. Ungkapkan juga bahwa Anda sebenarnya sedih dan kecewa. Pastikan pula bahwa perpisahan ini bukan salah anak, Anda dan pasangan tetap akan mencintai mereka dan selalu menemani mereka sekalipun berpisah.
Jangan saling menjelekkan. Sekalipun tergolong sulit, sebaiknya Anda tidak mengungkapkan hal-hal buruk tentang pasangan. Jika Anda butuh bercerita atau ingin curhat tentang pasangan, pastikan anak tidak mendengar apapun.
Tidak mengabaikan. Hal yang menjadi masalah pada anak-anak korban perceraian adalah mereka selalu menduga-duga tentang kepastian mendapat perhatian dari orang tua. Karenanya sebaiknya Anda dan pasangan selalu menepati janji dan jadwal yang berhubungan dengan anak.
Masa transisi. Kondisi yang paling menegangkan bagi anak adalah ketika dia pergi meninggalkan orang tua yang satu ke orang tua yang lain. Hal ini disebabkan karena anak merasakan ketegangan di antara kedua orang tuanya. Atasi kondisi ini dengan memberi penguatan positif bahwa Anda dan pasangan mencintai mereka, dan sangat ingin mereka menikmati suasana yang gembira ketika berada bersama Anda ataupun pasangan.
Tenggang rasa. Umumnya orang tua berpikiran bahwa agar semuanya berjalan lancar, peraturan yang diterapkan ketika anak bersama ibu haruslah konsisten diterapkan saat ia ada bersama ayah. Sebenarnya tak perlu demikian, tak perlu membuat perdebatan baru dengan mantan. Anak yang paling kecil sekalipun bisa menemukan dan memahami bahwa ayah dan ibunya berbeda, demikian pula aturan ketika dia bersama ayah atau ibunya.
Kepentingan bersama. Jika Anda adalah orang tua yang mendapatkan mandat perwalian anak, pastikan bahwa mantan pasangan tahu bahwa Anda sangat menginginkan keterlibatannya dalam kehidupan anak. Hal ini akan membuat mantan pasangan merasa lebih nyaman ketika ia akan bertemu dengan anak.
Menikmati hubungan baru. Sekalipun semula tidak terpikirkan, sebaiknya sejak awal dipahami bahwa Anda ataupun pasangan memiliki kemungkinan menjalin hubungan baru. Pastikan Anda siap menghadapi situasi ini.
Hal yang penting untuk diingat bahwa reaksi dan dampak perceraian terhadap anak sebenarnya dapat diatasi jika Anda dan pasangan memberi dukungan yang positif pada anak sejak awal. Tetapi jika perceraian Anda sudah terlanjur mengarah ke situasi yang negatif, tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaikinya, karena anak-anak Anda membutuhkannya, berapa pun usia mereka!
Dari saran-saran di atas terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang anak. Saran-saran di atas bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan kebencian satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir "Anak saya baik-baik saja kok, dia tidak apa-apa meskipun tidak ada ibunya/ayahnya. Lihat dia ceria-ceria saja, badannya sehat, sekolahnya juga rajin". Tapi tahukah Anda apa sebenarnya yang ada dalam hati sang anak ?
Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya. Bagi Anda yang akan, sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan masa depan anak-anak Anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin carut marut dengan membiarkan anak-anak kita yang tidak berdosa menjadi terlantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar